Sabtu, 26 November 2011

Arti Sahabat ???

Teman, sahabat... Beberapa tahun lalu, kita akan menemukan mereka dari aktivitas sosial secara langsung. Misalnya saja mereka tinggal sebagai tetangga, mereka teman sekolah, teman kuliah atau teman kerja. Tetapi sekarang, Anda bisa menemukan orang yang benar-benar asing masuk ke dalam daftar teman Anda. Coba buka akun jejaring sosial Anda, ada berapa banyak teman yang belum pernah bertatap muka langsung dengan Anda?

Tidak salah kok punya teman dari dunia maya, apalagi jika mereka punya hobi yang sama, punya pengalaman yang bisa dibagi, punya pengetahuan yang bisa bermanfaat. Banyak pertemanan dunia maya yang berakhir menjadi persahabatan sesungguhnya. Apakah mereka bisa menjadi sahabat sejati? Bisa iya, bisa tidak. Karena sahabat sejati dapat dijumpai di mana saja dan kapan saja.

Sebagai seorang perempuan, hidup tidak akan lengkap tanpa kehadiran seorang sahabat, terlebih lagi sahabat sejati yang bisa menjadi cermin siapa diri Anda. Masalahnya, dengan banyaknya kehadiran orang-orang baik dalam kehidupan Anda (baik dari pertemuan langsung atau dunia maya), ternyata tidak semua bisa menjadi sahabat sejati Anda. Apakah mereka hanya teman berbagi kesenangan dan pengetahuan belaka, atau bisa menjadi soulmate Anda?


Sahabat Sejati...
Mengatakan yang Sesungguhnya

Sahabat sejati tidak akan sungkan mengatakan, "Berat badan kamu naik ya?" atau "Ada cabai di gigi kamu, bersihin dong!" Mengapa? Karena mereka melakukan itu tidak lebih untuk kebaikan Anda sendiri. Tidak jarang mereka menjadi alarm yang tidak berhenti memperingatkan Anda bahwa pria yang Anda sukai sebenarnya pria yang tidak baik dan tidak pantas untuk Anda.

Jengkel? Jangan lagi. Mereka tidak sedang menjatuhkan Anda. Mereka mengatakan hal yang sesungguhnya sekalipun terkesan menyakitkan du hati Anda. Mereka mengatakan sesuatu yang terkesan 'dingin' tetapi mereka melakukan itu untuk menunjukkan kepedulian yang sangat besar bagi Anda. Lebih baik sahabat sendiri yang mengatakan ada cabai di gigi Anda ketimbang Anda keliling kota dengan cabai terselip di antara gigi tanpa sadar. Iya bukan?


Sahabat Sejati...
Mengantar Anda Menggapai Impian

Sekalipun mereka mengatakan hal-hal kebenaran tentang Anda, mereka tidak akan menghakimi atau mengkritik Anda. Mereka adalah pemberi saran terbaik, sekaligus rekan paling gila yang bisa membuat Anda tidak sungkan mengatakan apa sebenarnya impian Anda, apa yang sebenarnya yang Anda cari dalam hidup Anda (seringkali hal ini bahkan tidak diketahui orang tua Anda sendiri).

Bersama mereka, Anda bisa mendapat motivasi dan dorongan yang kuat untuk menggapai impian Anda. Anda juga demikian, menjadi penopang impian sahabat Anda. Saling mendukung, saling percaya dan saling mengingatkan, tanpa sikap menghakimi. Mereka bisa menjadi kotak untuk menampung impian Anda, sekaligus tempat mencurahkan air mata saat impian Anda tak tercapai dan melambung terlalu tinggi untuk diraih.

Sahabat Sejati...
Tidak Meminta Imbalan Apapun

Mungkin Anda pernah saling meminjam barang atau uang pada sahabat Anda, ini wajar. Tetapi di luar itu semua, seorang sahabat tidak mengharap apapun dari Anda. Tidak mengharap Anda akan memberikan sesuatu dalam bentuk materi atau keuntungan lain. Mereka hanya ingin berbagi bersama Anda dan saling menopang. Tidak ada imbalan yang akan mereka minta sebagai bentuk balas jasa.

Sekalipun Anda dalam kondisi susah, melarat, jatuh miskin dan tidak memiliki apapun, mereka akan ada di samping Anda, masih menjadi sahabat yang sama baiknya seperti pada saat Anda sukses dan bahagia. Mereka selalu membagi energi, pikiran, waktu, tenaga dan berbagai hal lain untuk Anda. Tidak mudah melakukan semua itu tanpa imbalan, mereka adalah harta yang harus Anda jaga.

Sahabat Sejati...
Tidak Akan Mengubah Anda

Mereka menerima apapun diri Anda, apapun pemikiran Anda dan mereka tidak akan meminta Anda untuk berubah menjadi orang lain. Mungkin mereka akan mengingatkan Anda bila terlalu banyak mengonsumsi makanan tak sehat dan masih merokok, tetapi mereka melakukan itu untuk kebaikan Anda. Mereka mungkin mengingatkan Anda untuk tidak berteriak kurang ajar pada seorang supir taksi, tetapi sekali lagi, mereka melakukannya untuk kebaikan Anda.

Jika Anda tidak suka dengan pilihan film kesukaannya, mereka tidak akan memaksa Anda untuk menonton film tersebut. Jika Anda tidak suka rumah makan kesukaan mereka, mereka akan lebih memilih mengunjungi rumah makan itu seorang diri tanpa mengajak Anda, karena mereka tahu bahwa Anda tidak suka. Mereka menghormati Anda, keputusan Anda dan hal-hal yang tidak Anda suka. As simple as that.

Sahabat Sejati...
Mau Mendengarkan Anda

Banyak orang yang tampak mendengarkan Anda dan bersimpati, tetapi hanya itu saja, kemudian mereka berlalu. Tetapi seorang sahabat tidak melakukannya, mereka mendengar apapun yang Anda katakan, bahkan bila membutuhkan waktu berjam-jam. Saat Anda mencurahkan hati dan pemikiran Anda, mereka benar-benar mendengarkan Anda. Melihat mimik wajah Anda, menggali apa yang sedang Anda rasakan dan mereka selalu tahu saat Anda berbohong.

Sangat sedikit orang yang mau mendengarkan Anda hingga mendalam, ini bukan pekerjaan mudah. Karena lebih banyak orang yang akan menghakimi dan mengkritik Anda, itu lebih mudah daripada mendengarkan. Sahabat Anda akan selalu mendengarkan Anda tanpa kritik. Karena itu, Anda lebih membutuhkan satu orang sahabat sejati yang mau mendengarkan Anda dibandingkan hanya bersenang-senang dan terlihat cool dengan beberapa orang, tetapi sebenarnya Anda kesepian.



saya ambil dari sumber : http://metrotvnews.com/read/news/2011/07/08/57156/Arti-Seorang-Sahabat-Sejati
sebagai referensi teman-teman.

Jumat, 25 November 2011

Bagaimana Cara Sedekah Yang Baik???

Memang sedekah itu mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam hidup seseorang. Maka banyak-banyaklah sedekah karena manfaat sedekah yang besar itu. Berikut adalah ulasan dari sebuah blog yang menurut saya sangat bagus untuk kita terapkan.

Ini pendapat Joe Vitale, penulis Spiritual Marketing. Juga pendapat banyak penulis lain yang dari pengalamannya mendapati bahwa semakin dia rela memberi (bersedekah) semakin banyak apa yang dia sumbangan itu kembali kepada dirinya dengan berlipat-lipat. Kalau dia menyumbang uang, maka (biasanya) akan datang uang. Kalau tenaga, maka akan kembali banyak bantuan. Kalau ilmu, maka akan kembali lebih banyak ilmu. Mereka menemukan bahwa "to give in order to get" adalah suatu hukum universal. 

Namun harus diingat lho...masih menurut orang-orang tersebut, hanya sedekah yang tulus lah yang akan menggetarkan semesta. Jadi tidak semua pemberian akan memberikan efek pengembalian yang diharapkan. Tentu saja ini bukan sok merasa lebih tahu tentang cara yang disukai Tuhan, ini adalah berbagi pengalaman apa yang mereka rasakan. 


Berikut ini cara bersedekah (menyumbang) yang mereka rasakan mampu menggetarkan spiritualitas mereka : 

1. Bersedekahlah saat merasa ingin bersedekah, jangan sampai merasa terpaksa.

Bila saat bersedekah kita justru merasa kesal, maka akan tertanam di bawah sadar bahwa bersedekah itu tidak enak, bahkan mengesalkan. Mungkin seperti kalau kita bayar parkir kepada preman di pinggir jalan. Ada perasaan terpaksa, tak berdaya, bahkan dirampok. Bukan karena besar kecilnya nilai uang, tapi rela tidaknya perasaan saat memberikan sumbangan. Kalau anda sedang suntuk, tunggu sampai hati lebih riang. Memberi dengan berat hati akan memberi asosiasi buruk ke alam bawah sadar. 

2. Bersedekahlah kepada sesuatu yang disukai sehingga hati Anda tergetar karenanya.

Mungkin suatu ketika Anda ingin menyumbang yatim piatu, di waktu lain mungkin menyumbang perbaikan jembatan, mungkin pelestarian satwa yang hampir punah, mungkin disumbangkan untuk modal usaha bagi seorang pemula. Intinya adalah Anda sebaiknya menyedekahkan pada hal yang membuat perasaan Anda tergetar. Setiap orang akan berbeda. Seringkali seseorang menyumbang ke tempat ibadah, tapi hatinya tidak sejalan, hanya karena kebiasaan. Menyumbang yang tak bisa dihayati tak akan menggetarkan kalbu. 

3. Bersedekahlah dengan sesuatu yang bernilai bagi Anda. 

Kebanyakan wujudnya adalah uang, namun lebih luas lagi adalah benda yang juga anda suka, pikiran, tenaga, ilmu yang anda suka. Dengan menyumbang sesuatu yang anda sukai, membuat anda juga merasa berharga karena memberikan sesuatu yang berharga.

4. Bersedekahlah dalam kuantitas yang terasa oleh perasaan. 

Bagaimana rasanya memberi sedekah 25 rupiah? Bagi kebanyakan orang nilai ini sudah tidak lagi terasa. Untuk seseorang dengan gaji 1 juta, maka 50 ribu akan terasa. Bagi yang perpenghasilan 20 juta, mungkin 1 juta baru terasa. Setiap orang memiliki kadar kuantitas berbeda agar hatinya tergetar ketika menyumbang. Nilai 10 persen biasanya menjadi anjuran dalam sedekah (bukan wajib), mungkin karena sejumlah nilai itulah kita akan merasakan "beratnya" melepas kenikmatan. 

5. Menyumbang anonim akan memberi dampak lebih kuat.

Ini erat kaitannya dengan ketulusan, walaupun tidak anonim juga tak apa-apa. Dengan anonim lebih terjamin bahwa kita hanya mengharap balasan dari Tuhan (ikhlas). 

6.Bersedekah tanpa pernah mengharap balasan dari orang yang anda beri.

Yakinlah bahwa Tuhan akan membalas, tapi tidak lewat jalan orang yang anda beri. Pengalaman para pelaku kebanyakan menunjukkan bahwa balasan datang dari arah yang lain. 

7. Bersedekahlah tanpa mengira bentuk balasan Tuhan atas sedekah itu.

Walaupun banyak pengalaman menunjukkan bahwa kalau bersedekah uang akan dibalas dengan uang yang lebih banyak, namun kita tak layak mengharap seperti itu. Siapa tahu sedekah itu dibalas Tuhan dengan kesehatan, keselamatan, rasa tenang, dll, yang nilainya jauh lebih besar dari nilai uang yang disedekahkan. 

Demikian berbagai hal yang berkaitan dengan prinsip bersedekah. Prinsip-prinsip ini sangat sesuai dengan petunjuk rasulullah Muhammad berkaitan dengan sedekah dan keutamaannya. Kalau tak salah, ada hadits yang menyatakan bahwa tak akan menjadi miskin orang yang bersedekah. Dijamin. 

Selain itu bersedekah juga menghindarkan diri dari marabahaya. 
Ada sebuah kisah yang kalau tak salah saya dapat dari Pak Jalaluddin Rakhmat tentang seorang yang ditunda kematiannya karena bersedekah. Suatu ketika rasulullah sedang duduk bersama para sahabat. Lalu melintaslah seorang yang memanggul kayu bakar. Tiba-tiba Rasulullah berkata kepada para sahabat, "Orang ini akan meninggal nanti siang." 

Sorenya ketika Rasulullah duduk bersama para sahabat, melintaslah orang tersebut. Maka dipanggillah orang tersebut oleh rasul dan ditanya, "Aku diberitahu (malaikat) tadi pagi bahwa kamu akan menemui ajal siang tadi. Tapi kulihat kamu masih segar bugar. Apa yang telah kamu lakukan?" Kemudian orang itu berkisah bahwa tadi pagi dia membawa bekal makan siang. Lalu di tengah jalan bekal itu dia sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Selanjutnya, kata orang itu, saat kayu-kayu bakar diletakkan tiba-tiba seekor ular hitam keluar dari dalamnya. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa ular itulah yang sedianya akan mematuk orang tersebut, namundia berpindah takdir karena sedekahnya menghidarkan dia dari bahaya tersebut. 

Kisah itu menunjukkan keutamaan sedekah yang bisa menghindarkan diri dari bahaya, sekaligus menujukkan bahwa cara Tuhan membalas sedekah tidak dalam bentuk dan jalan yang kita duga.  

Kiamat 2012 ?????

Ramalan akan terjadinya kiamat pada tahun 2012 disadur dari sistem penanggalan Kalender Bangsa Maya yangg -menurut mereka- merupakan kalender paling akurat hingga kini yang pernah ada di bumi, yang mana  perhitungan Maya Calendar dimulai dari 3113 SM sampai 2012 M. Mereka (bangsa Maya) menyatakan pada tahun 2012 -tepatnya tanggal 21 Desember 2012- merupakan “End of Times”, hanya saja maksud dari “End of Times” itu sendiri masih diperdebatkan oleh para ilmuwan dan arkeolog.
Tidak mungkin ada seorang muslim yang baik islamnya lantas dia membenarkan ramalan ‘basi’ seperti ini. Sungguh sudah pernah ada ramalan-ramalan seperti ini sebelumnya akan tetapi tentu saja tidak ada satupun yang benar bahkan mendekati kebenaran juga tidak. Dulu pernah tersebar ramalan bahwa kiamat akan terjadi tanggal 19-9-1990, juga pernah ada yang meramalkan terjadinya kiamat pada tanggal 9-9-1990, ada juga yang pernah meramalkan bahwa terjadinya pada tanggal 1-1-2000, dan sekarang mereka meramalkan terjadinya pada tanggal 21-12-2012. Kalau ramalan ini salah -dan pasti salah-, nggak tahu tanggal berapa lagi yang akan mereka menyebutkan, wal iyadzu billah. Dan cukuplah menjadi dalil tertolaknya ‘ramalan’ ini bahwa ini merupakan ramalan orang-orang musyrik (bangsa maya) yang agamanya sama sekali tidak bersumber dari langit. Kalau Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita untuk tidak mempercayai ‘ramalan’ seorang yang mengaku muslim, maka bagaimana lagi dengan ramalan kaum musyrikin?!

Kemudian yang perlu diketahui adalah bahwa kiamat itu tidak hanya terbatas pada hancurnya bumi, akan tetapi kiamat itu adalah hancurnya seluruh alam: Ketujuh langit dan ketujuh bumi beserta penghuninya dari kalangan malaikat dan manusia, serta segala sesuatu selain Allah, kecuali makhluk-makhluk yang Allah kecualikan untuk tidak hancur. Allah Ta’ala berfirman, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. Az-Zumar: 68)
Sementara kejadian yang mereka sebutkan yang akan terjadi pada tahun 2012 adalah musnahnya 2/3 penduduk bumi akibat tsunami, gempa bumi, naiknya panas dibumi sampai 5 kali biasanya, dan seterusnya. Atau paling ngerinya adalah musnahnya semua penduduk bumi lalu digantikan lagi dengan peradaban yang baru dan tidak berhubungan dengan peradaban sebelumnya, demikianlah yang mereka sebutkan.
Anggaplah seandainya apa yang mereka sebutkan itu betul terjadi, maka -sekali lagi anggaplah itu terjadi- kejadian itu paling tinggi hanya dikatakan sebagai bencana alam yang mendunia, tapi sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai hari kiamat. Karena mereka tidak mengatakan bahwa pada tahun 2012 bintang-bintang akan berguguran, langit akan terbelah, semua planet akan hancur, dan seterusnya. Mereka hanya membatasi bencana ini pada bumi saja. Maka tentu saja itu bukan hari kiamat atau hari akhir, karena masih ada lagi hari setelahnya -walaupun itu tidak didapati lagi adanya manusia-.


Adapun jika kita meninjau dari sisi syariat, maka masalah kapan terjadinya hari kiamat merupakan salah satu dari perkara-perkara ghaib, dan Allah Ta’ala telah berfirman,“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.”(QS. An-Naml: 65)
Maka ayat ini tegas menunjukkan tidak ada satupun makhluk yang mengetahui perkara ghaib -termasuk waktu terjadinya hari kiamat-. Kalaupun Allah memberitahukan waktunya kepada makhluk-Nya, niscaya yang paling pertama kali mendapatkan pengabarannya adalah dua rasul Allah yang paling mulia secara mutlak, satu dari jenis manusia dan satu dari jenis makhluk ghaib (malaikat), yaitu Nabi Muhammad -alaihishshalatu wassalam- dan malaikat Jibril -alaihissalam-.
Akan tetapi tatkala Jibril -dalam rupa arab badui- datang bertanya kepada Nabi -alaihishshalatu wassalam- tentang kapan terjadinya hari kiamat, maka beliau -alaihishshalatu wassalam- hanya menjawab:

مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ
“Orang yang ditanya tidak lebih tahu tentangnya daripada yang bertanya.” (HR. Al-Bukhari no. 50 dan Muslim no. 9, 10)

Maksudnya: Saya dan kamu sama-sama tidak tahu. Dan masih banyak dalil-dalil lain yang menjelaskan pokok akidah ini (tidak ada yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah), akan tetapi bukan di sini tempat pemaparannya.

Di antara dalil syara’ yang menunjukkan batilnya ramalan ini adalah: Tanda-tanda besar hari kiamat yang tersebut dalam hadits belum nampak sampai sekarang. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin -dan termasuk dari rahmat Allah- bahwa kiamat tidak datang tiba-tiba, akan tetapi ada tanda-tanda besar -sebagai peringatan bagi manusia- yang akan terjadi sebelumnya. Dari Huzaifah bin Asid bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:

إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍفَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَيَأْجُوجَوَمَأْجُوجَ وَثَلاَثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنَ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَىمَحْشَرِهِمْ.
“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian melihat sepuluh tanda.” Lalu beliau menyebutkan: Dukhan (kabut), Dajjal, Daabbah (binatang yang bisa berbicara), terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, turunnya Isa bin maryam -alaihis salam-, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, terjadinya tiga penenggelaman ke dalam bumi yang terjadi di timur, di barat, dan di jazirah Arab, dan yang terakhir adalah keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya mereka.” (HR. Muslim no. 2901)
Adapun tentang Dajjal, maka disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa dia keluar setelah terjadinya peperangan besar yang berakhir dengan dikuasainya konstantinopel. Adapun mengenai lamanya dia hidup di bumi, maka Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda dalam hadits An-Nawwas bin Sam’an:

أَرْبَعُوْنَ يَوْمًايَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرِ وَيَوْمٌ كَجُمْعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ
“Empat puluh hari: Sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sejum’at (sepekan), dan sisa hari lainnya seperti hari-hari kalian sekarang.” (HR. Muslim no. 2937)

Jika kita jabarkan maka lama tinggalnya Dajjal di bumi adalah: 360 + 30 + 7 + 37 = 434 hari atau 1 tahun 2 bulan dan 2 pekan.
Setelah itu turunlah Isa bin Maryam yang akan membunuhnya, dan setelah membunuhnya beliau masih hidup beberapa tahun lagi sampai akhirnya beliau meninggal. Tentang berapa lamanya beliau tinggal di bumi, maka ada dua hadits shahih yang lahiriahnya bertentangan.
Hadits pertama adalah hadits Abu Hurairah: Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda tentang Isa bin Maryam -alaihissalam- setelah dia membunuh Dajjal:

فَيَمْكُثُ أَرْبَعِينَ سَنَةً ثُمَّ يُتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ
“Lalu beliau (Isa bin Maryam) menetap (di bumi) selama 40 tahun, kemudian beliau wafat dan jenazahnya dishalatkan oleh kaum muslimin.” (HR. Abu Daud no. 4324 dan Ahmad (2/406) serta dishahihkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar)

Hadits yang kedua adalah hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash:

فَيَبْعَثُ اللهُ عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ – كَأَنَّهُ عَرْوَةُ بْنُ مَسْعُوْدٍ – فَيَطْلُبُهُ فَيُهْلِكَهُ ثُمَّ يَمْكُثُ النَّاسُ سَبْعَ سِنِيْنَ لَيْسَ بَيْنَ اثْنَيْنِ عَدَاوَةٌ
“Lalu Allah mengutus Isa bin Maryam -yang wajahnya mirip Urwah bin Mas’ud-, lalu dia mencarinya (Dajjal) dan membunuhnya. Kemudian manusia tinggal selama 7 tahun dalam keadaan tidak pernah terjadi persengketaan antara dua orang sama sekali.” (HR. Muslim no. 2940)

Sebagian ulama memahami bahwa Nabi Isa tinggal selama 7 tahun setelah membunuh Dajjal setelah itu beliau meninggal, berdasarkan hadits ini.

Karenanya para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi kedua hadits ini. Ada yang mendahulukan hadits Abu Hurairah di atas dan ada juga yang mendahulukan hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash, dan sebagian lainnya ada yang memadukan kandungan kedua hadits ini dengan mengatakan: Bahwa tinggalnya beliau di bumi selama 40 tahun adalah total lamanya beliau hidup di bumi, termasuk sebelum diangkat ke langit. Adapun 7 tahun yang tersebut dalam riwayat Muslim maka dia dihitung sejak dari diturunkan kembali ke bumi. Sehingga umur beliau ketika diangkat ke langit adalah 33 tahun, dan inilah pendapat yang masyhur mengenai umur beliau.
Kalaupun kita memilih waktu yang paling singkat, yaitu 7 tahun, maka seharusnya Isa -alaihissalam- sudah ada sekarang.
Karena kalau memang kiamat itu 2012, maka paling lambat Isa -alaihissalam- sudah turun ke dunia pada tahun 2005 dan Dajjal seharusnya sudah mati sekarang -dibunuh oleh Nabi Isa- karena dia keluarnya setahun 2 bulan 2 pekan sebelum turunnya Isa -alaihissalam-.
Belum lagi kita menghitung tanda-tanda kiamat lainnya. Maka semua ini menunjukkan mustahilnya hari kiamat terjadi pada tahun 2012.

Sebagai penutup, kami bawakan hadits Abu Hurairah dimana Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau peramal lalu membenarkan ramalannya maka sungguh dia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad -shallallahu alaihi wasallam-.” (HR. Ahmad: 2/429)


Hadits ini jelas menunjukkan bahwa orang yang mempercayai ramalan baik itu berkenaan dengan masa lalu maupun masa yang akan datang, maka sungguh dia telah kafir keluar dari Islam karena dia telah mendustakan Al-Qur`an yang di dalamnya terdapat banyak ayat yang menegaskan tidak ada yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah. Karenanya hendaknya setiap muslim tidak memperdulikan ramalan seperti ini dan yang semacamnya, akan tetapi seharusnya dia menyibukkan diri dengan hal yang jauh lebih penting daripada itu, yaitu mengumpulkan perbekalan amalan guna menghadap Allah Ta’ala di hari kiamat kelak.

Siapakah Suamimu di Surga Kelak?

Artikel di bawah ini akan menjawab pertanyaan ini. Namun sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah sangat akurat), yang bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:
Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:
1.    Dia meninggal sebelum menikah.
2.    Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.
3.    Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah.
4.    Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).
5.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.
6.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.

Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan  keadaan wanita di dunia: Di antara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga.

Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:
مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ
“Tidak ada seorangpun bujangan dalam surga”.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman firman Allah -Ta’ala-:
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ
“Di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)

Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)

Seorang wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud saya adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.
Dan beliau juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.

Adapun wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi istri dari suaminya di dunia.>
Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanyaý meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.
Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Wanita itu milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)

Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:
إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ
“Jika kamu mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga”. (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )

Faidah:
Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:
وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا
“Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.
Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?

Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia . Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 48)

Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”. Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy.
-disalin dari www.al-atsariyyah.com oleh Al-Ustadz Abu Muawiah-

Kewajiban Umat Islam Terhadap Rasul SAW

kewajiban umat di hadapan rasulAl-Qur’an menyebut Rasulullah Saw sebagai suri tauladan terbaik bagi umat manusia, dimana sirah beliau adalah pedoman bagi mereka dalam mencapai kesempurnaan hakiki. Mengikuti sirah dan prilaku Rasul adalah satu-satunya jalan menuju kebahagian duniawi dan ukhrawi. Oleh karenanya, selain mewajaibkan umat manusia untuk mengimani beliau, Allah Swt pun menurunkan aturan-aturan sekaitan dengan kewajiban umat terhadap Nabi mereka yang mulia itu.
Orang-orang mukmin adalah mereka yang telah mengimani kenabian Muhammad Rasulullah Saw, oleh karenanya selain di pundak mereka terdapat kewajiban dan tanggung jawab sosial di hadapan Rasulullah Saw, mereka pun memiliki kewajiban secara pribadi dan individual, sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Di bawah ini kami akan mengkaji beberapa ayat Al-Qur’an yang menyebutkkan kewajiban –baik sosial maupun individual- umat Islam terhadap Nabi mereka. selain itu, kami pun akan memaparkan efek serta manfaat yang muncul dari menjalankan kewajiban tersebut.
Ketaatan Secara Mutlak
Tidak diragukan lagi, setiap orang yang mengaku sebagai umat Rasulullah Saw berkewajiban untuk mentaati beliau secara mutlak, mereka haruslah menerima hukum dan undang-undang yang beliau sampaikan tanpa tawar menawar, baik hukum yang berkaitan dengan kehidupan sosial maupun individual.
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah Swt memerintahkan seluruh manusia untuk mentaati-Nya dan Rasul-Nya, “Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul” . Dalam ayat lain, peritah Allah Swt untuk mentaati Rasul-Nya secara khusus tertuju kepada kaum mukminin, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)” . maksud dari ketaatan dalam ayat ini ialah mengikuti serta menjalankan sepenuhnya ajaran Rasulullah Saw, dimana jalan yang beliau tempuh adalah jalan yang lurus, jalan Allah Swt dan taat kepada beliau merupakan sebuah keharusan, karena yang beliau sampaikan tidak lain kecuali pesan dari Allah Swt. Oleh karenanya, di mata Al-Qur’an ketaatan kepada Rasulullah Saw adalah manifestasi dari ketaatan kepada Allah Swt, “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS. An-Nisa’: 80).
Ketaatan kepada Rasul memiliki wilayah yang sangat luas, dimana maksud dari ketaatan ini ialah ketaatan terhadap seluruh aturan dan hukum Allah Swt yang beliau sampaikan. Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa segala yang beliau ucapkan dan sampaikan adalah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau.
Perintah Allah Swt untuk mentaati Rasul-Nya secara mutlak tanpa ada syarat apapun menandakan akan ke-ishmahan (kesucian) beliau. Karena seandainya Rasulullah Saw tidak suci dari segala sifat tercela, dosa dan kesalahan, maka Allah Swt akan memberikan syarat dalam ketaatan kepada beliau. Karena jika tidak, berarti Allah Swt telah memerintahkan manusia untuk mengikuti kebatilan dan kesalahan, yang jelas hal ini bertentangan dengan hikmah dan keadilan-Nya. Atas dasar ini, Imam Ali as berkata, “Aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah Swt... ia telah membawa kepada kita bendera kebenaran. Barang siapa yang mendahuluinya, maka ia telah keluar dari agama. Barang siapa yang tertinggal darinya, maka ia akan binasa dan barang siapa yang bersamanya, ia akan selamat”. Dalam kesempatan lain, Imam Ali as berkata, “Hamba (manusia) yang paling dicintai Allah Swt adalah yang selalu mengikuti Nabinya dan melangkah sesuai dengan jejak kakinya”.
A. Kewajiban Sosial
Kewajiban terpenting umat Islam di hadapan Rasulullah Saw ialah yang berkaitan dengan wilayah dan kepemimpinan beliau. Tidak diragukan, usaha terbesar yang dilakukan Rasul Saw ialah mendirikan pemerintahan Islam yang puncaknya beliau lakukan sepulang dari Hajjatul Wada’ (haji perpisahan). Terdapat banyak ayat yang menyebutkan bentuk dari kewajiban ini yang sebagian darinya akan kami sebutkan di bawah ini.
1. Menerima Wilayah dan Kepemimpinan Rasulullah Saw
Kewajiban terbesar yang dimiliki setiap umat Islam ialah menerima wilayah dan kepemimpinan Rasul mereka. Al-Qur’an memandang bahwa wilayah adalah semata milik Allah Swt, Rasul Saw dan sekelompok orang beriman,”Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat saat mereka melaksanakan ruku’ ” (QS. Al-Maidah: 55). Wilayah Rasul Saw sedemikian urgen sehingga ia melebihi wilayah seseorang atas dirinya. Berkaitan hal ini Allah Swt berfirman, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (QS. Al-Ahzab: 6). Atas dasar ini, orang-orang mukmin hendaknya mendahulukan aturan dan kehendak Rasul Saw di atas kehendak dan keinginan diri mereka. Sebagaimana Allah Swt memiliki wilayah atas segala sesuatu, Nabi pun memiliki wilayah atas umat beliau.
Muhammad Saw tidak lain adalah utusan Allah Swt yang tidak berbicara kecuali wahyu diri sisi-Nya, sekali-kali beliau tidak pernah menyampaikan sesuatu dari diri beliau, apa yang beliau sampaikan mutlak adalah datang dari sisi Allah Swt. “dan ia tidak berbicara sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya. Tiada lain ia hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm: 3-4). Oleh karenanya, siapa yang menerima wilayah Rasul Saw berarti ia telah menerima wilayah Allah Swt.
2. Kembali Kepada Sunnah Rasul Saat Mengalami Terjadi Peselisihan
Dalam beberapa ayat, Allah Swt memerintahkan kepada kaum muslimin untuk kembali kepada Rasulullah Saw saat menghadapi problema sosial. Hendaknya mereka memposisikan ucapan, tindakan dan diamnya beliau -dalam kerangka sunnah dan Al-Qur’an- sebagai pelita petunjuk mereka dalam meraih kebahagiaan abadi. Allah Swt berirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. An-Nisa’: 59).
Sebagian ahli tafsif mengatakan, “Ayat suci ini mengingatkan akan kewajiban umat manusia di hapadapan Allah Swt, Rasul Saw dan Ulil amri, dan menyatakan bahwa dengan kembali kepada tiga rujukan ini, umat tidak akan menghadapi jalan buntu”.
Dalam pandangan Al-Qur’an, kembali kepada sunnah Nabi Saw dalam permasalahan sosial adalah tanda keimanan hakiki umat beliau. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisa’: 65).
Dapat disaksikan secara jelas, dalam ayat ini Allah Swt dengan bersumpah dengan Dzat-Nya menyatakan bahwa umat manusia tidak akan mencapai keimanan hakiki kecuali dengan tiga syarat.
A. Kembali kepada hukum dan sunnah Rasulullah Saw dalam perkara yang diperselisihkan.
B. Tidak merasa keberatan dengan hukum yang ditentukan Rasul Saw.
C. Menerima sepenuhnya keputusan yang diberikan Rasul Saw.
Dalam logika Islam, kewajiban kaum muslimin tidak hanya kembali kepada sunnah Rasul saat mereka menghadapi permasalahan, tetapi mereka juga diwajibkan untuk menerima keputusan dan hukum yang beliau berikan. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Seandainya ada dari kaum tertentu dimana mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Swt, tidak menyakini adanya sekutu bagi-Nya, melaksanakan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan berpuasa di bulan Ramadhan, akan tetapi mereka tidak menerima sepenuhnya keputusan Allah Swt dan Rasul-Nya seraya mengatakan, “Apabila keputusan yang ada tidak demikian, maka akan menjadi lebih baik”, walaupun hal ini tidak diucapkan dengan lisan dan hanya terlintas dalam hati mereka, dengan kadar ini, mereka telah musyrik”.
3. Meminta Izin Kepada Rasul Saw
Menurut Al-Qur’an salah satu kewajiban sosial kaum muslimin, ialah saat mereka dalam pertemuan dengan Rasulullah Saw, maka tidak diperbolehkan bagi mereka –dengan alasan apapun- untuk meninggalkan pertemuan tersebut sebelum mendapatkan izin dari beliau. Al-Qur’an menyebutkan, “Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya” (QS. An-Nur: 62).
Ayat di atas diturunkan sekaitan dengan sekelompok orang munafik yang di setiap Rasul Saw dan orang-orang mukmin sedang berkumpul guna membicarakan berbagai permasalahan bahkan permasalahan penting sekalipun –seperti halnya peperangan-, mereka tanpa meminta izin dari Rasulullah Saw serta-merta meninggalkan pertemuan tersebut. Akibatnya, dalam ayat ini Allah Swt memberi peringatan kepada mereka untuk tidak meninggalkan Rasul Saw tanpa izin dari beliau.
Perintah ini tidak hanya terbatas pada masa hidup Rasulullah Saw, yang hanya ditujukan kepada para sahabat beliau. Akan tetapi, perintah ini tetap berlaku bagi seluruh kaum muslimin di hadapan para Imam Maksum as dan para ulama yang menduduki posisi sebagai pewaris Nabi. Hal ini, dikarenakan perintah ini mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin dan undang-undang sosial Islam. Selain itu, akal dan logika juga menghukumi hal demikian, karena tidak ada satupun organisasi yang dapat berdiri dan juga kordinasi tidak akan berjalan dengan baik tanpa memperhatikan perkara tersebut. Maka dari itu, merupakan kewajiban bersama umat di saat permasalahan sosial islam dikemukakan oleh seorang ulama -yang pada dasarnya adalah hak Rasulullah Saw-, hendaknya mereka turut andil di dalamnya dan sekali-kali tidak meninggalkan dan mengabaikannya.
4. Setia dan Tidak Berkhianat
Termaksud kewajiban seluruh umat Islam terhadap Nabi mereka, ialah kesetiaan dan tidak berkhianat kepada beliau. Sekaitan hal ini, secara gamblang Al-Qur’an menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad)” (QS. Al-Anfal: 27).
Syekh Thabarsi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, “Berkhianat kepada Allah Swt ialah meninggalkan sesuatu yang diwajibkan-Nya, khianat kepada Rasul Saw ialah meninggalkan sunnah, sirah serta syariat agama beliau. Meninggalkan perkara agama dan mengabaikannya ialah bentuk pengkhianatan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya”.
Pesan ayat ini dapat difahami dari asbab nuzul ayat tersebut, dimana para mufassir berbeda pendapat seputar sebab diturunkannya ayat ini. Di bawah ini, akan kami sebutkan dua contoh sejarah sekaitan dengan hal ini.
1. Di saat kaum muslimin dengan perintah Rasulullah Saw mengepung kaum Yahudi Bani Quraidhah. Mereka (orang-orang Yahudi) menawarkan untuk berdamai dan bermigrasi ke wilayah Syam. Rasulullah Saw tidak menerima tawaran mereka dan memerintahkan Sa’ad bin Mu’adz untuk menengahi permasalahan tersebut dengan didampingi seorang bernama Abu Lubabah yang memiliki ikatan dengan kaum Yahudi itu. Saat berhadapan dengan mereka, Abu Lubabah mengisyaratkan tangannya ke tenggorokan dengan tujuan mengabarkan mereka, jika menerima Sa’ad sebagai hakim, maka mereka akan terbunuh.
Dengan perintah Allah Swt, Malaikat Jibril mengabarkan tindakan Abu Lubabah kepada Rasulullah Saw, sehingga semenjak kejadian tersebut, Abu Lubabah merasa malu dengan pengkhianatan yang dilakukannya, ia pun mengikat tubuhnya di salah satu tiang masjid Nabi selama tujuh hari tanpa makan dan minum. Pada akhirnya Allah Swt menerima taubatnya.
Berdasarkan pandangan akan asbab nuzul ini, sebuah isyarat yang dapat menguntungkan musuh termaksud salah satu bentuk dari pengkhianatan kepada Nabi Saw.
Dengan demikian, seluruh umat islam berkewajiban untuk menjauhi segala sesuatu yang dapat mengakibatkan Rasulullah Saw dilecehkan dan agama islam direndahkan. Hendaknya mereka tidak melakukan sebuah pekerjaan yang dapat dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk menyerang Rasul Saw dan ajaran yang dibawanya, serta mengokohkan posisi mereka.
2. Dalam peperangan Badar sebagian orang menulis surat kepada Abu Sufyan, surat tersebut berisikan berita mengenai strategi Rasul dalam peperangan tersebut. Abu Sufyan pun dengan meminta bantuan dari kaum musyrikin Makkah bergerak menuju Badar bersama seribu pasukan.
Berdasarkan pandangan ini, membocorkan siasat peperangan Nabi Muhammad Saw kepada musuh merupakan tindakan khianat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena ayat di atas mensejajarkan antara pengkhianatan kepada Allah Swt dan Rasul Saw.
Atas dasar ini, tidak diperbolehkan atas kaum muslimi untuk membocorkan rahasia atau siyasat sosial islam –baik masalah pertahanan, politik, budaya maupun ekonomi- kepada pihak musuh. Karena hal ini dapat membahayakan Islam dan kaum muslimin, serta membawa keuntungan bagi musuh. Menurut ayat di atas, tindakan ini termaksud bentuk pengkhiatan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya.
B. Kewajiban Individual
Maksud dari kewajiban individual ialah kewajiban atas perkara-perkara di luar kerangka sosial. Dengan kata lain, setiap individu umat islam -terlepas akan ikatan antara umat dan pemimpin, serta dimensi sosial undang-undang Islam- memiliki kewajiban tertentu di hadapan Rasul mereka.
Agama-agama Ilahi khususnya agama Islam diturunkan guna menyempurnakan jiwa dan maknawiyah umat manusia. Tujuan diturunkannya syariat ialah untuk mensucikan jiwa manusia dari segala kotoran maknawi. Guna merealisasikan tujuan ini, Allah Swt mensyariatkan sejumlah kewajiban individu umat manusia di balik kewajiban sosial mereka, sehingga dengan menjalankannya dengan tulus dan baik, mereka dapat mencapai penghambaan hakiki dan meraih kedekatan Ilahi yang menjadi tujuan dari penciptaan mereka.
Kewajiban individual terbesar kaum muslimin di hadapan Nabi mereka ialah melaksanakan perintah-perintah Ilahi yang disyariatkan guna mensucikan jiwa mereka. Sebab tanpa melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, kewajiban sosial pun tidak dapat mereka laksanakan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh; seseorang yang tidak bertakwa dan tidak bersifat adil, maka ia tidak akan dapat mengemban tugas-tugas penting perkara sosial secara benar.
Tentunya, setiap individu umat Islam memiliki banyak kewajiban di hadapan Rasul mereka, namun yang secara gamlang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Kecintaan Kepada Rasul Saw dan Ahlul Baytnya
Kecintaan kepada Rasul dan Ahlul Baytnya sedemikian penting dan mulia sehingga Rasul Saw sendiri menganggapnya sebagai pelengkap dari keimanan seorang hamba. Beliau bersabda, “Keimanan seorang hamba [Allah] tidak akan sempurna kecuali apabila ia lebih mencintaiku dari pada dirinya, dan mencintai keluargaku melebihi kecintaannya kepada keluarganya”. Dalam hadis lain seraya mengungkapkan pentingnya kecintaan dalam diri seseorang, beliau bersabda, “Seseorang akan dibangkitkan bersama orang yang dicintainya”.
Tentunya, yang dimaksud dengan kecintaan di sini ialah kecintaan yang mendorong pelakunya untuk mengikuti orang yang dicintainya, ia selalu berusaha untuk menjadikan ucapan dan prilaku pribadi yang dicintai sebagai tauladan baginya.
Kecintaan kepada keluarga Nabi adalah kewajiban besar setiap muslim. Oleh karenanya, dalam sebuah ayat kecintaan kepada mereka disebut sebagai upah dari upaya dan risalah Rasulullah Saw, “Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluarga-ku-” (QS. As-Syura: 23). Dengan kata lain, kecintaan kepada Ahlul Bayt adalah keniscayaan dari kecintaan kepada Rasulullah Saw.
2. Membaca Shalawat
Salah satu kewajiban individu umat Islam terhadap Nabi mereka ialah membaca shalawat kepada beliau. Dalam sebuah ayat Al-Qur’an disebutkan, bahwa Allah Swt dan seluruh Malikatnya bershalawat kepada Rasulullah Saw, sehingga Allah pun memerintahkan umat manusia untuk juga turut bershalawat kepada beliau, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56).
Arti dari shalawat Allah Swt kepada Rasul ialah Allah Swt menurunkan rahmat-Nya kepada Rasul Saw dan keluarganya, dan saat rahmat Ilahi ini turun kepada beliau, ia pun akan turun pula kepada selain beliau, karena beliau adalah perantara karunia Ilahi kepada para hamba, melalui beliau lah karunia dan rahmat Ilahi akan sampai kepada umat manusia.
Sekaitan dengan ayat di atas, Imam Ali as mengatakan,”Saat kalian membaca ayat ini, baik dalam keadaan shalat atau di luar shalat, maka bacalah shalawat kepada Rasulullah Saw”!
Dalam riwayat lain, Imam Ali berkata, “Tidak ada amalan yang lebih berat dalam timbangan amal (mîzan a’mâl) melebihi bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Di hari kiamat, saat amalan seseorang ringan ketika diletakkan di timbangan, Rasulullah Saw akan meletakkan shalawat yang ia ucapkan ditimbangan amalnya, sehingga timbangannya akan menjadi berat dan mengalahkan amalan buruknya”.
3. Bertawasul
Dalam sebuah ayat, Allah Swt menganjurkan kepada orang-orang yang berdosa untuk mendatangi Rasulullah Saw dan meminta kepada beliau untuk memohonkan ampunan kepada Allah Swt, “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 54).
4. Berziarah
Saat kita menziarahi Rasulullah Saw ke kota Madinah, maka kita akan medapatkan karunia dan rahmat khusus Ilahi. Selain Rasulullah Saw mengucapkan salam kepada kita, “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, Maka Katakanlah: "Salaamun alaikum” (QS. Al-An’am: 54). Beliau pun akan memohon kepada Allah Swt agar dosa kita diampuni.
Tentunya berziarah dan bertawasul kepada Rasulullah Saw tidak terbatas hanya dengan datang ke kota Madinah dan menziarahi makam suci beliau -meskipun hal ini memiliki keutamaan tersendiri-. Akan tetapi setiap orang mukmin yang membaca doa dengan niat bertawasul atau berziarah kepada beliau meskipun dari jarak yang jauh, maka ia akan mendapat inayah khusus dari beliau. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an menyebutkan bahwa beliau senantiasa menyaksikan amalan orang-orang mukmin, “Dan Katakanlah: "beramallah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalanmu itu” (QS. At-Taubah: 105).
5. Menjaga Adab dan Sopan Santun
Al-Qur’an mengajarkan etika berbicara di hadapan Rasul Saw kepada kaum muslimin, dalam sebagian ayat di sebutkan beberapa hal sekaitan masalah ini.
Agar kaum muslimin tidak menganggap Rasulullah Saw sebagai manusia biasa, Al-Qur’an memerintahkan mereka untuk menjaga sopan santun saat berbicara atau memanggil beliau, Allah Swt melarang mereka untuk mengangkat suara mereka keras-keras di hadapan Rasul Saw. Karena perbuatan ini ialah perbuatan tidak sopan yang dapat meruntuhkan amalan baik pelakunya. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari” (QS. Al-Hujurat: 2)
Hilang dan runtuhnya pahala saat berlaku tidak sopan kepada Rasulullah Saw, tidak hanya terbatas pada masa kehidupan beliau. Akan tetapi pada saat ini pun kita harus menjaga adab ini di sisi makam suci beliau. Demikian halnya dengan para Imam dan para ulama rabbani, kita diharuskan menjada sopan santun ini di hadapan mereka.
Dalam ayat lain, Allah Swt memperingati kaum muslimin agar tidak mendahului Rasulullah Saw dalam segala hal. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya” (QS. Al-Hujurat: 1).
Syekh Thabarsi saat menjelaskan ayat ini mengatakan bahwa larangan untuk tidak mendahului Rasul Saw mencakup banyak hal diantaranya ialah, saat berjalan dengan beliau, saat berbicara dan melakukan suatu pekerjaan. Al hasil dalam segala hal kita harus bersama dan mengikuti Rasulullah Saw.
Sebagian mufassir lainnya sekaitan dengan larangan mendahului Rasul Saw ini, mengatakan, “Dikarenakan Al-Qur’an tidak menyebutkan bentuk-bentuk tindakan yang dianggap mendahului Rasulullah Saw tetapi ia menyebutkannya secara mutlak, maka larangan tersebut mencakup segala bentuk tindakan mendahului Nabi, baik dalam permasalahan akidah, ilmu, politik, ekonomi ataupun sosial. Dan barang siapa yang mendahului Allah Swt dan Rasul-Nya, maka ia telah berbuat kekacauan dalam sistem masyarakat, yang pada hakikatnya ia telah mempermainkan undang-undang sekehendak hatinya”.
Maka dari itu, undang-undang yang dihasilkan dari kecenderungan pribadi atau adat istiadat warga setempat, bukanlah undang-undang yang berbasis akal dan fitrah. Setiap hukum yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Swt, atau sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan Allah Swt, adalah bentuk perbuatan mendahului Allah Swt dan Rasul-Nya.

Oleh : Mohammad Ali Sarawi